Sekilas Perkembangan Film Dokumenter

”Documentary start with an idea  and a desire to communicate it  to the audiences”    Edweard Muybridge Dua puluh tah...



”Documentary start with an idea 
and a desire to communicate it 
to the audiences”  



Edweard Muybridge
Dua puluh tahun setelah Edweard Muybridge, fotografer Inggris-Amerika menangkap gambar aktual mengenai gerakan seorang joki di atas seekor kuda yang berlari berjudul Jockey on a Galloping Horse (1887), yang menjadi inspirasi awal dibuatnya gambar bergerak, para pembuat film di Amerika dan Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat rekam gambar bergerak sederhana hasil temuan mereka. Bentuknya masih sangat sederhana. Yakni, hanya terdiri dari satu shot, tanpa suara, berwarna hitam putih, dengan durasinya pun hanya beberapa detik saja. Pada masa inilah, muncul film-film yang diistilahkan sebagai “actuality films” generasi paling awal dan paling sederhana dari film dokumenter.
Kemudian, pada tahun 1922, yaitu 27 tahun setelah Lumiere bersaudara menemukan Cinematographe, kamera film yang lebih mutakhir daripada milik Edison, Robert Joseph Flaherty (1884 – 1951), seorang penambang asal utara Kanada melakukan pengambilan gambar pada sebuah keluarga suku Inuit di Antartika (Kutub Utara). Film yang kemudian dipublikasikan dengan judul Nanook of The North itu lantas segera saja populer sebagai film nonfiksi pertama, yang menggabungkan unsur sinematografi dan aspek naratif di dalamnya. 
John Grierson
Film yang pengambilan gambarnya diawali pada tahun 1915 dengan proses penyuntingan di Toronto sepanjang 30.000 kaki footages ini dipercaya merupakan bentuk awal model ”feature-length documentary” yang banyak dipakai hingga sekarang. Kesuksesan film yang pada awalnya ditolak banyak produser film karena dianggap tidak menjual tersebut mengantarkan Flaherty melakukan ekspedisi pembuatan dokumenter berdurasi panjang berikutnya. Kali ini ke wilayah Samoa untuk memproduksi film dokumenter perjalanan / travelogue sejenis Nanook, yang kemudian diberi judul Moana (1926).
Tak lama kemudian, John Grierson, seorang jurnalis sekaligus kritikus film adalah orang yang kali pertama menyematkan istilah “documentary” melalui tulisanya di harian New York Sun ketika membahas film berjudul Moana karya Flaherty tersebut. Pemrakarsa British Documentary Movement ini kemudian memberikan definisi yang hingga kini masih relevan dipakai para pengamat dokumenter generasi selanjutnya secara sederhana sebagai “the creative treatment of actualities”. 
Selain itu, sukses Nanook sekaligus menginspirasi sineas-produser seperti Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A Nation's Battle for Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of the Wilderness (1927) sebuah film dokumenter perjalanan yang mengambil lokasi di pedalaman hutan Siam, Thailand. 
Dziga Vertov
Pada tahun 1922, Dziga Vertov yang bernama asli Denis Abrahmovich Kaufman, seorang dokumentaris asal Sovyet yang berlatar belakang reporter. mempelopori teori „Kino Eye“. Teori tersebut dipraktikkannya melalui beberapa karyanya antara lain; Kino-Pravda (Film Kebenaran) serta The Man with Movie Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di Soviet. Ia berpendapat bahwa kamera merupakan mata film, dan film dokumenter bukan menceritakan sesuatu yang obyektif, melainkan suatu realitasa berdasarkan apa yang terekam oleh kamera sebagai mata film. Mata film ini disebutnya sebagai Kino-Eye atau Kino-Glaz. Para pionernya adalah dokumentaris asal Prancis. seperti Pierre Perrault, Chris Marker, Mario Ruspoli, Jean Rouch.
Kemunculan teknologi suara pada tahun 1930 an semakin memantapkan teknis pembuatan film dokumenter. Pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan beragam. Salah satunya adalah Triump of the Will (1934) dan Olympia (1936) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang pada masa itu digunakan sebagai alat propaganda Nazi.

Ketika perang dunia II berlangsung, perkembangan film dokumenter seakan  meningkat pada tahap yang lebih tinggi. Hollywood dipercaya membuat film-film dokumenter propaganda milik Amerika. Tujuh seri film dokumenter panjang bertajuk, Why We Fight (1942-1945) karya Capra yang dianggap sebagai seri film dokumenter propaganda terbaik yang pernah ada. Sementara John Ford melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler melalui Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter terbaik.
Pada masa damai usai kekalahan Jepang tahun 1945 yang menutup Perang Dunia II, perkembangan film dokumenter selanjutnya dipengaruhi oleh perkembangan teknologi komunikasi, yaitu kemunculan teknologi video dan digital broadcasting yaitu televisi. Akibatnya, dokumenter terpecah menjadi dua kubu; film dokumenter dan dokumenter televisi. Dokumenter film umumnya berdurasi panjang, dan bebas menggunakan tipe shot, sedangkan dokumenter televisi umumnya cenderung lebih banyak menggunakan tipe shot close up, dan medium close up. Hal ini hanya merupakan penyesuaian besaran antara layar televisi dengan bioskop. Namun, ketika muncul media Internet dan teknologi High Definition, ketika ukuran layar televisi memiliki perbandingan yang sama dengan Bioskop, sehingga persoalan dokumenter pada televisi dan film dokumenter tidak menjadi masalah lagi. (yes)

Sumber:
Kriwaschek, Paul, Documentary for Small Screen, Focal Press
Ayawala, Gerzon R. 2008. Dokumenter, Dari Ide Sampai Produksi
Effendy, Heru. 2002. Mari Membuat Film. Panduan: Yogyakarta
Baker, Maxin. “Documentary in the Digital Ages”. Focal Press: Boston
Rabinger, Michael. 1998. Directing the Documentary third Edition. Focal Press

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...