Artikel
Diary
Batas Abu-abu Imajinasi dan Keyakinan
00.40.00"...Ultimately it is this fraternity that makes it possible, over the past two centuries, for so many millions of people, not so much...
"...Ultimately it is this fraternity that makes it possible, over the past two centuries, for so many millions of people, not so much to kill, as willingly to die for such limited imaginings"
Konsep Imagined Community menyebut bahwa Negara merupakan komunitas yang secara sosial dikonstruksi. Dimana di dalamnya, terdapat individu-individu yang memiliki keyakinan (imajinatif) bahwa mereka merupakan bagian dari komunitas tersebut. Jika dilihat sepintas, argumentasi yang melatari konsep yang dikemukakan oleh Benedict Anderson dalam bukunya "Imagined Community" memang begitu meyakinkan. Sehingga, bisa jadi di tengah kondisi kebingungan kolektif yang melanda manusia modern dewasa ini, dapat berpotensi mendorong mereka mampertanyakan kembali hakikat kebangsa dan kenegaraan yang dimilikinya.
Sejujurnya, sebelum tuduhan terhadap negara ini muncul, terdapat masa dimana Agama, dan Tuhan pun dianggap sebagai "Imajinasi" belaka. Lihat bagaimana fisikawan Victor J Stenger yang menolak hipotesis mengenai kebradaan Tuhan atau Marx yang menuduh Agama sebagai bentukan kaum penindas untuk menghegemoni pemikiran kelas bawah agar selalu menerima penindasan. Sepertinya dalam wilayah ini (spiritual), batas antara keyakinan dan imajinasi seakan kian tipis dan absurd, terlebih ketika penganut renaisans bermunculan dan mulai mencari kebenaran-kebenaran dengan metode logis dan saintifik.
Begitupun dengan cara saya menganalogikan cara berpikir seseorang terhadap realitas semu yang ada di sekitar mereka. Sebuah rekonstruksi atas realitas rekaan yang disusun sedemikian rupa, hingga dampak tingkat kepercayaanya melebihi keyakinan itu sendiri. Beberapa orang menyebutnya dengan hipereality dimana muncul ketidakmampuan kesadaran manusia mendefinisikan dan merekonstruksi realitas yang ada dalam dunia serba canggih ini, khususnya dalam mendefinisikan makna-makna nasionalisme. Kesadaran berpikir yang dianggap telah kehilangan obyektifitas karena realitas rekaan yang menjadi keyakinan dan dasar berpikir seseorang.
Sadar atau tidak sadar, konsep iman sesungguhnya sudah merujuk tidak hanya pada konteks keagamaan, tapi segala hal yang berhubungan dengan keyakinan dan rujukan dalam berpikir, menyatakan pendaat, berperilaku dan cara mengambil keputusan. Bahkan keputusan yang bersifat remeh-temeh seperti memilih air minum memiliki dasar yang disadari atau tidak, membutuhkan keyakinan dalam tingkat tertentu. Jadi, sekali lagi, mulailah untuk melihat bagaimana manusia modern menyembah sesuatu yang realitasnya berasal dari hasil rekaan dan rekonstruksi masal yang biasa kita sebut sebagai Brand.
Memang, teknologi dan sistem komunikasi kini mencapai tahap yang tidak pernah dibayangkan oleh manusia di zaman-zaman sebelumnya, dimana setiap orang di seluruh dunia terkoneksi menembus batas waktu dan wilayah secara bersama, membentuk sebuah desa global, menciptakan avatar-avatar persona yang tak hanya sekedar mengarungi, tapi juga membentuk wilayah sosial baru dalam dunia virtual sekaligus tetap terkoneksi dalam wilayah sosial tak virtual di dunia nyata. Kekuatan adaptasi dan berpikir manusia dipertaruhkan di sini. Manusia kini tidak lagi bermusuhan dengan alam. Alam sudah ditaklukkan, namun tantangan sesunggunya dimulai dari sini, kini manusia harus menaklukkan teknologi yang diciptakannya sendiri.
Pemikiran Benedict Andersin mengenai Imagined Communities sesungguhnya telah memaksa masyarakat mendefinisikan kembali makna nasionalisme, dimana batas-batas negara pada akhirnya hanyalah batas semu yang diciptakan oleh peradaban masa lalu. Ini adalah sebuah fenomena yang diyakini sebagian peneliti tengah marak terjadi. Masyarakat semakin sadar akan perannya tidak hanya sebatas kepada bangsa dan negara dimana mereka hidup tetapi kepada dunia dimana mereka tinggal. Sebagian bahkan telah memutuskan, secara sadar atau tidak, mengakhiri pembatasan idologis antar negara dan kukungan nasionalisme semu yang memang seringkali terlihat hanya milik orang-orang yang memilki kepentingan tertentu. Kenyataan pahit, terlebih jika seseorang tersebut adalah warga negara Indonesia.(yes)
yesthapahlevi
Penikmat kopi di sela-sela suasana urban. Ibarat taman bermain yang besar tanpa batas yang sarat keputusan-keputusan paradoks. Keragamannya tak lekang waktu. Bertabur hiruk pikuk kesibukan peradaban. Tuhan-pun menampakkan dirinya dalam berbagai wujud di sini. Bagi saya, salah satu kebahagiaan diperoleh dari masturbasi pemikiran-pemikiran..
0 comments
Mari bertukar pikiran...