Sinisme antar Generasi

"Anak-anak jaman sekarang parah nih nakalnya, ngga seperti jaman kita dulu", kata seorang teman saya ketika melihat kelakukan naka...

"Anak-anak jaman sekarang parah nih nakalnya, ngga seperti jaman kita dulu", kata seorang teman saya ketika melihat kelakukan nakal anak-anak yang baru-baru ini sempat hype di media sosial. Mulai dari foto selfie bugil sepasang anak sekolah hingga anak SMA yang mengancam seorang polisi dengan mengaku sebagai anak dari pejabat tertentu di dinas kepolisian. Memang sekilas pernyataan teman saya tersebut sah-sah saja dan tidak bisa disalahkan, namun sebagai seorang pengamat sosial saya tidak serta merta menilai segala fakta yang nampak faktual yang tersaji secara apa adanya. 

Karena bagi saya, setiap peristiwa memiliki latar belakang peristiwa lain yang mendukungnya.
Setiap generasi memiliki ciri khasnya masing-masing, seperti generasi sekarang yang lahir dalam lingkungan sosial dan budaya yang lebih kompleks. Tidak bisa serta merta kita yang pernah hidup dalam masa dimana teknologi tidak secanggih sekarang kemudian memiliki wewenang untuk menilai mereka dengan ukuran baju kita dahulu. Justru hal ini akan menjadi awal kesesatan pikir yang membelenggu keterbukaan pemikiran kita untuk memahami secara benar apa yang terjadi sekarang dan bagaimana harus menyikapinya.

Saya melihat segala bentuk kegagalan dan keberhasilan yang ditimpakan generasi yang sekarang merupakan implikasi kegagalan dan keberhasilan dari generasi sebelum-sebelumnya. Jadi sesungguhnya kesalahan generasi sekarang adalah karena kesalahan yang dibuat dalam generasi kita juga, berikut dengan generasi terdahulu. Seperti tentang bagaimana lambatnya sikap kita menanggapi perubahan teknologi yang semakin cepat. Ketidak dewasaan kita menyikapi perubahan teknologi akan mengakibatkan generasi selanjutnya juga tidak siap dan tidak peka, berujung pada penyalahgunaan teknologi dan tanggung jawab.

Saya mencoba menganalogikan dengan Rokok misalnya. Setiap tahun, pengkonsumsi rokok dalam rentang usia menjadi terasa semakin luas, bahkan menyentuh usia-usia yang belum dewasa. Tidak usah melihat statistik yang njelimet, cukup di warnet dan warung kopi depan kontrakan saya di daerah Rawa Papan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, hampir setiap hari terlihat anak sekolah berlalu lalang menyulut rokok tanpa ada seorang pun yang menegur dan mencelanya. Tidak hanya itu, anak kolong jembatan, kampung-kampung sebelah juga terjadi hal yang sama. Seakan-akan rokok menjadi semacam katalis sosial bagi mereka (anak muda/remaja) untuk berkomunikasi dengan lingkungan yang lebih luas, dan sudah menjadi semacam simbol kepercayaan diri dan kedewasaan bagi mereka.

Menjadi ironi dan dungu ketika kita hanya berpendapat menyalahkan anak-anak tersebut dalam konteks waktu sekarang, atau akibat dari rokok yang mereka konsumsi saat itu. Lantas apa gunanya pendidikan mereka di sekolah? dimana orang tua mereka dan apa saja yang mereka lakukan untuk mendidik anak tersebut? sensor publik dan masyarakat? sensor pemerintah atas iklan rokok? Menurutmu apa sebab mengapa anak tersebut memutuskan untuk merokok?... Anak di jaman ini hanyalah korban dari ketidakbecusan generasi kita menyikapi kesalahan penggunaan rokok pada masyarakat pada generasi sebelumnya. Akibatnya, adalah apa yang kita lihat sekarang. 

Seperti halnya penyalahgunaan atas teknologi semisal internet dan media sosial. Bedanya dengan rokok, teknologi tidak secara langsung dilarang dan diatur penggunaanya melalui undang-undang dan peraturan yang mengikat lainya. Jadi kontrol atas teknologi menjadi jauh lebih longgar dan lemah daripada rokok yang terlihat secara fisik. Padahal informasi pada dasarnya bisa jauh lebih berbahaya daripada peluru, apalagi sekedar rokok. Hoax, ungkapan kebencian, informasi tanpa dasar fakta dan verifikasi yang kuat, media abal-abal, pornografi, dan banyak ancaman dunia maya yang generasi dahulu saja belum tahu cara mengatasinya. Tanpa cara berpikir yang benar, internet bisa jadi sebuah peralatan cuci otak yang canggih dan tak dapat dihentikan.

Paling-paling, reaksi yang umumnya muncul atas insiden semacam itu tidak jauh-jauh dari; mencemooh, prihatin, merasa bahwa generasi satu lebih baik daripada generasi lainnya atau yang lebih konyol, menyumbang jempol. Meski sedikit klise, reaksi awam yang terjadi di sosial media sesungguhnya tidak akan berdampak apapun, kecuali jika informasi tersebut membuat kita semakin mawas diri dan mengubah cara pandang kita dalam mensiasati perubahan sosial yang terjadi semakin cepat waktu demi waktu. Kembali lagi, kemawas-dirian tidak akan muncul tanpa adanya kedewasaan dalam menyikapi apapun yang terjadi di media.

Teori psikologi apapun, baik psikodinamik Freud maupun Erikson, kognitif informasional Piaget, psikologi kontekstual maupun behavioral, semua teori prikologi perkembangan menekankan bahwa pola perilaku manusia amat tergantung pada lingkungan sosial dan budaya diman manusia itu tumbuh. Intinya, semua psikolog mengamini bahwa lingkungan sosial baik dalam keluarga, masyarakat, sekolah, dan dunia memiliki pengaruh signifikan pada perkembangan manusia yang pada akhirnya membentuk karakter manusia tersebut. Seorang anak belajar tidak hanya dengan membaca, tapi melihat dan mengimitasi apa yang lingkungan mereka sajikan. (yes)

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...