Beberapa waktu lalu saya menyimak sebuah pemberitaan tentang DUGAAN malpraktik yang dilakukan oleh seorang dokter kepada pasien. Akibat terlambat untuk dirujuk ke rumah sakit tertentu, sang pasien kemudian meninggal dunia. Berita tersebut menampilkan reaksi keluarga korban ketika pemakaman. Berita diutup dengan wawancara pihak keluarga dan humas rumah sakit. Secara sekilas, berita yang ditayangkan cukup singkat di salah satu tv swasta tersebut tidak perlu terjadi jika sang keluarga korban tidak memiliki "dugaan malpraktik" tersebut pada sang dokter.
Pada dasarnya, dugaan selalu muncul seiring dengan rasa ketidak percayaan akibat kurang lengkapnya informasi. Baik dari sang pasien maupun dari penjelasan pihak medis. Dalam tulisan ini saya tidak hendak membahas mengenai keberimbangan berita, tapi lebih kepada fenomena komunikasi antar persona yang terjadi dalam berita tersebut, dan beberapa berita lain yang serupa. Terdapat kesenjangan komunikasi, tentunya.
Seperti dikatakan Tubbs & Moss, bahwa komunikasi memiliki peranan penting dalam membangun kepercayan antara dokter dan pasien. Hubungan dokter-pasien adalah unik dan secara tradisional diatur oleh norma yang bwrhubungan dengan ekuasaan status, dan kemampuan. Pada perkembangannya, belum pernah hubungan dokter-pasien lebih dipermasalahkan daripada sekarang. Lihat saja data hasil survey yg dikutip dari Nazario tentang alasan pasien yang "berpindah dokter" sebagai berikut; Dokter tidak menyediakan waktu cukup untuk pasien (40%) Dokter tidak ramah (42%) Dokter tidak menjawab pertanyaan jujur dan lengkap (40%) Dokter kurang berpengetahuan dan kurang kompeten (37%) Penjelasan dokter tidak dapat dimengerti (30%) Dokter tidak memeperlakukan pasien dengan hormat (27%) Dokter selalu tidak ditempat bilamana diperluka (27%). Survey yang menurut saya mengejutkan karena terjadi di negara yang dunia medisnya sudah bisa dianggap maju.
Kemajuan teknologi medis mungkin menjadi salah satu penyebab utama proses komunikasi tradisional pasien-dokter menjadi semakin tidak dianggap penting. Kelengkapan fasilitas laboratorium membuat penyakit dan kelainan-kelainan dalam tubuh manusia dapat dideteksi tanpa perlu melakukan percakapan. Padahal seringkali, faktor psikologis yang ditimbulkan oleh peran dokter sebagai media penyembuh lebih diharapkan daripada "keajaiban medis" yang seperti dalam benak masyarakat kebanyakan. Komunikasi yang baik sesungguhnya dapat membuat proses pengobatan, berhasil atau tidak, menjadi diterima. Tuduhan adanya malpraktik adalah bukti kegagalan seorang dokter dalam mendapatkan kepercayaa oleh pasien dan keluarganya terlepas dari berapa tingkat kompetensi yang dimiliki dokter tersebut.
Perubahan sosial juga menyumbangkan pengaruh yang tidak sedikit pada pola komuniakasi masyarakat terutama pada hal yang bersifat formal-intim seperti hubungan dokter-pasien. Dokter yang juga bagian dari masyarakat tentunya mengalami dampak era digital yang mulai menggerus komunikasi langsung menjadi komunikasi berbasis media. Silahkanlihat berapa waktu yang dibutuhkan seseorang setiap hari untuk log in ke dalam sosial media yang mereka miliki dibanding dengan obrolan langsung dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Penggunaan media sosial lebih dari 5 jam meningkat ke angka 64%. Mengejutkan bukan? Atau malah menjadi fenomena yang biasa dan basi?
Jelaslah, bahwa kesenjangan komunikasi inilah yang bisa jadi merubah presepsi sang pasien pada seorang dokter yang sangat kompeten dan profesional justru menjadi nampak tidak demikian akibat kesalahan komunikasi yang dilakukannya. Belum lagi, kondisi yang diperparah dengan biaya medis yang makin tinggi, tenaga medis yang minim, hingga fasilitas yang tidak memadai. Berjuang dengan stigma masyarakat tentang profesi dokter dalam aspek sosial dan ekonomis, bisa jadi, tanpa penanganan yang serius oleh rekan sesama profesi, kepercayaan publik akan mengendur.
Sayangnya, carut-marut komunikasi ini menjadi semakin sistemik akibat jurnalis yang juga kurang profesional yang disambut oleh masyarakat yang mudah percaya dan malas berpikir dan memferivikasi data. Implikasinya adalah, kredibilitas profesi lantas dipertanyakan. Dampak baiknya adalah sebuah reaksi profesi yang positif dan membangun, yakni dengan meningkatkan tingkat kedisiplinan dan kompetensi dalam profesi kedokteran. Tapi dibalik dampak positif selalu muncul unwanted effect, yakni sebuah pelabelan negatif tentang profesi dokter di Indonesia, khususnya di daerah-daerah.
Sesungguhnya, tak harus menonton atau membaca berita di televisi, saya pun sempat beberapa kali merasakan sendiri bagaimana komunikasi yang jauh dari ideal antara pasien dan dokter, utamanya untuk kelas ekonomi menengah bawah. Perbedaan pelayanan antara rumah sakit pelat merah dan RS Swasta. Sekali lagi bukan pada hal pelayanan dan keahlian yang dimiliki namun dari cara mereka berkomunikasi kepada pasien... Dalam hal komuniaksi tersebut, para dokter di Indonesia masih memiliki pelerjaan rumah yang_sangat-sangat_banyak. (Yes)
0 comments
Mari bertukar pikiran...