PEMBLOKIRAN dan LINGKARAN SETAN KEDUNGUAN

Kelesuan yang masih membekas usai seharian produksi video di Bali tak mengendurkan semangat saya untuk menulis. Terlebih, ketika pagi-pagi...


Kelesuan yang masih membekas usai seharian produksi video di Bali tak mengendurkan semangat saya untuk menulis. Terlebih, ketika pagi-pagi, saya membaca sebuah tautan dari seorang teman, yang berisi laporan kompas tekno mengenai sebuah berita pembobolan situs KPAI oleh sekelompok hacker yang diduga dilakukan atas alasan protes terhadap program KPAI yang akan memblokir 15 game online di Indonesia. Berita yang tayang pada 2 Mei 2016 puluk 09.38 WIB tersebut menjelaskan beberapa alasan mengenai pemblokiran 15 situs game online antara lain karena dinilai mengandung kekerasan. Berikut cuplikannya;

"Menurut pantauan KompasTekno, laman beranda situs tersebut diganti sehingga menampilkan layar hitam berisi gambar, dengan latar musik, dan beberapa baris teks. "Fix ur sec(urity) first b4 talking about game," demikian bunyi sebaris tulisan di laman deface itu.  Pesan ini diduga terkait dengan wacana yang dilontarkan oleh pihak KPAI beberapa waktu lalu, soal rencana memblokir sejumlah game model online yang mengandung unsur kekerasan sehingga bisa berpengaruh buruk terhadap anak. KPAI memandang pemblokiran sebagai salah satu cara untuk membantu orangtua dalam mengontrol jenis game yang dimainkan oleh anak. Konsumsi game terbilang sulit dimonitor lantaran anak tak selalu bermain dari rumah, tetapi bisa pula di tempat penyewaan game atau warung internet."

Membaca beberapa komentar yang ada_entah kenapa_selalu saja menurut prespektif banyak orang, pihak pemerintah justru nampak sebagai pihak yang selalu tutup telinga atau lebih parah lagi, dinilai dangkal pikir dalam hal ini. Kajian yang dilakukan untuk menghindarkan anak dari pengaruh terpaan pengaruh kekerasan dari game dilakukan justru dari hilir saja. Tidak hanya itu, sejak internet masuk indonesia, kedangkalan pikir pemerintah menyebabkan berbagai keputusan yang tidak masuk akal, kering data dan argumentasi.

Pemblokiran tumblr dan vimeo misalnya. Lagi-lagi pola pengambilan kebijakan hanya bersifat reaktif dan sementara. Tidak menyelesaikan masalah yang sesungguhnya yang proses penangannyanya bersifat jangka panjang yakni; perubahan cara pandang dan pola pikir masyarakat melalui apa yang disebut pendidikan. Satu sisi dimana saya memang sependapat dan mengamininya.

Namun, ketika melihat bagaimana warnet di depan rumah beroperasi, saya agaknya mulai mahfum dan mengerti betapa putus asanya pemerintah dengan tingkah polah rakyatnya sendiri. Menciptakan kesadaran dan merubah pola pikir benar-benar tugas yang tidak mudah di negeri ini. Diperlukan usaha yang lebih bersifat MENAMPAR daripada sekedar himbauan-himbauan agar masyarakat mau introspeksi atau_paling tidak sedikit saja_memberi perhatian pada permasalahan yang sesungguhnya penting ini.

PERNAHKAH KITA BELAJAR?

Sebelum beranjak pada permasalahan game, mari kita lihat dahulu bagaimana pemerintah, salah satunya KPAI maupun lembaga lain dan masyarakat Indonesia sendiri dalam menyikapi masalah yang dulunya (dan sekarang) masih populer di Indonesia yang saya anggap bisa dianalogikan dengan permasalahan mengenai game online ini, yakni tayangan televisi dan konsumsi rokok.

Tayangan televisi, yang senyatanya masih memiliki banyak masalah. Terlebih dalam menghadirkan kontetn tayangan yang jauh dari bermutu dan tidak mendidik akibat terlalu berorientasi pada profil yang justru memiliki dampak langsung pada keluarga Indonesia. Pemanfaatan teknologi penyiaran masih minim pengawasan maupun kajian baik pemerintah maupun masyarakat. Bagaimana cara pemerintah dan masyarakat melindungi terpaan tayangan kekerasan dalam televisi terhadap anak-anak yang ancaman senyatanya ada di tengah-tengah ruang keluarga di seluruh Indonesia?

Kedua, permasalahan rokok_yang notabene jauh lebih lama muncul_saya yakin pemerintah dan masyarakat sadar bahwa masih banyak anak yang tidak terlindungi dari terpaan distribusi produk yang sesungguhnya ditujukan pada usia dewasa ini? Masih banyak anak dibawah umur yang mengkonsumsi rokok (saya pernah mendapatkan data risetnya di website KPAI, tapi karena webnya masih down akibat hacking, jadi datanya tidak bisa saya paparkan) seakan berbagai usaha penanggulangan nampak tak berarti. Menurut kalian, ada dimanakah akar permasalahan yang sesungguhnya?

Saya yakin, pemerintah, masyarakat, dan banyak ahli sependapat, bahwa kontrol dini dalam masyarakat jauh lebih efektif ketimbang sekedar upaya pemblokiran. Kita semua sadar, bahwa mengatasi masalah yang sejenis dengan cara reaktif dan mengandalkan pemerintah hanyalah bersifat sementara. Masih untung, pemerintah secara langsung isa bertindak menyikapi permasalahan game online dengan memblokir aksesnya melalui penyedia layanan internet setempat (itupun masih sangsi apakah bisa bertahan selamanya). Namun, akankah selamanya bertahan?

Sekarangyang terjadi adalah, masyarakat tidak pernah kalah pintar, banyak cara mengatasi pemblokiran yang dilakukan KPAI tersebut. Permasalahannya, justru ada pada masyarakat, apakah mereka sadar bahwa dampak kekerasan dalam game yang ditujukan pad orang dewasa tidak baik untuk dikonsumsi anak-anak? Upaya apa saja yang pernah dilakukan untuk mengatasi efek negatif kekerasan yang disajikan 15 game online dengan rating dewasa pada anak-anak yang dilakukan masyarakat lebih efektif daripada yang dilakukan KPAI?

Jadi bukan hanya pemerintah, masyarakat pun seakan tidak mau belajar mendewasakan diri menyikapi perubahan pola hidup masyarakat akibat dari kemajuan teknologi. Mengandalkan pendidikan formal di sekolah sama saja melempar tanggung jawab yang tidak pada tempatnya, karena sekolah akan selalu terikat oleh kurikulum, terlebih di negeri ini, tudak perlulah saya cerita panjang dan lebar lagi. Paling tidak, jika masih banyak orang yang tidak tahu cara mengunakan atau bahkan tahu fasilitas 'parental control' di gadget mereka, maka jangan menganggap masyarakat kita sudah dianggap peduli, alih-alih dianggap lebih pintar dari pemilik otoritas yakni pemerintah, mereka hanya menyelesaikan masalah menggunakan batas-batas otoritas yang dimiliki.

MENGULANG LAGI DEFINISI PEMAHAMAN

Pemahaman bahwa semua jenis game/permainan digital hanyalah diperuntukkan anak-anak sama dungu-nya dengan mengibaratkan semua film kartun dibuat hanya untuk anak-anak. Hal ini diperparah ketika orang tua, distributor maupun penyedia jasa game, baik berupa warnet, game center, atau komputer rumahan tutup mata, melakukan pembiaran dan seolah-olah tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu akan hal-hal seperti ini. Asalkan rupiah masuk, semuanya dibiarkan. Asalkan nilai sekolah bagus, semuanya diijinkan.

Sebagai bahan pembanding, sistem kontrol dalam peredaran sebuah game di banyak negara sesunggunya sudah diatur melalui pemberlakuan rating yang ketat beberapa lembaganya antara lain PEGI, RARS, ACB, USK, ERSB dan banyak lagi. Namun, di Indonesia kesadaran akan filter menggunakan rating usia masih sangat minim bahkan belum terbentuk. Tidka hanya pada game, tapi pada produk apapun, misal rokok dan tayangan televisi tadi. Terlebih pada level akar rumput yakni masyarakat dengan keterbatasan akses informasi dan pendidikan.

Padahal, jika sistem filter rating terhadap usia ini diberlakukan dengan baik, tidak ada warnet atau warung rokok yang bungkam ketika melihat anak-anak sekolah masuk menggunakan seragam sekolah dan membeli atau menyewa produk mereka. Selain itu, dibuat undang-undang atau paling tidak aturan normatif dalam lingkup sosial yang lebih kecil yang mengatur mengenai jam-jam bermain game atau usia merokok. Bisa jadi, kini ronda dan siskamling bukan hanya bertujuan menjaga lingkungan dari maling, tapi juga dari ancaman dampak digital.

Dalam lingkup keluarga dan bertetangga, alangkah baiknya jika para orang tua di era teknologi ini mau sedikit saja membuka diri, meluangkan waktu dan belajar tentang perkembangan teknologi, seperti mempelajari cara menggunakan fitur "parental control" di komputer dan gadget mereka sekedar untuk pencegahan. Membuat  kelompok diskusi di RT atau RW tentang pencegahan dampak teknologi terhadap anak-anak mereka. Jadi kegiatan berkumpul antar tetangga tidak hanya sebatas nggosip artis, kritik pemerintah, dan membicarakan skor bola semalam.

Selain itu, pada sistem pendidikan keluarga, masih banyak orang tua yang tidak tahu (dan tidak mau tahu) apa saja yang dilakukan anak-anak mereka di dunia maya. Terlebih, gadget dan smartphone sekarang memiliki hubungan yang kadang lebih intim daripada hubungan sosial dalam masyarakat dan keluarga. Bisa dihitung berapa orang tua yang tahu password email dan sosial media anak-anak mereka?

KENYATAAN PAHIT

Saya sadar, bahwa kenyataan di lapangan yang saya lihat masih jauh dari harapan. Mengandalkan otoritas pemerintah yang terbatas adalah hal yang hampir sia-sia. padahal, langkah maju harus segera dibuat karena tidak ada manfaatnya menunda hal yang baik. Sembari menyeruput kopi pagi, saya hanya meyakinkan diri untuk merubah diri sendiri dahulu menjadi orang tua yang sadar akan perkembangan teknologi bagi anak saya.

Namun, menanggapi niatan KPAI memblokir 15 game online game, saya tidak akan terlalu peduli. Tidak ada peraturan yang ideal, sebagaimana pemerintah Indonesia membuat keputusan bagi satu milyar orang, pasti akan selalu ada pro dan kontra. Toh, bagi saya, negara ini hanyalah kumpulan konsensus semu dalam masyarakat yang imajiner. Namun dalam kacamata tata negara, kekuasaan pemerintah untuk mengontrol tidak lantas membuatnya kebal kritik dan koreksi, terlebih di negara yang memiliki kecenderungan demokrasi. Masyarakat harus mau berperan serta.

Peran masyarakat diperlukan tidak hanya ketika pesta politik, tapi pada pembangunan peradaban dan kehidupan sehari-hari. Satu-satunya cara mengatasi dampak kemajuan teknologi yang tidak terbentung ini hanyalah melalui proses pendewasaan berpikir masyarakat, yakni bijak dalam menggunakan produk teknologi. Kebijaksanaan muncul dari pikiran terbuka dan mau terus belajar! Daripada sibuk mengkritik pemerintah di sosmed, seakan pemerintah dianggap kurang bijak. Akan lebih baik jika kita berusaha mendewasakan cara berpikir kita dan orang-orang di sekitar kita. (yes)

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...