Merekonstruksi Makna Membaca
02.11.00Membaca, yang dalam pandangan Saussurian lebih dikenal dengan mendekonstruksi makna memiliki banyak dimensi. Dalam tulisan ini, saya akan membahas membaca sebagai proses memaknai teks berupa simbol-simbol verbal. Dalam perspektif sosial dan budaya kita, membaca seringkali memiliki nilai yang lebih positif daripada perilaku komunikasi tidak langsung lain seperti menonton atau mendengar. Padahal, tidak setiap orang memiliki kemampuan menyerap suatu informasi secara efektif dengan cara membaca simbol verbal. Psikologi modern telah sejak lama membuktikan bahwa setiap individu memiliki tingkat kecerdasan tertentu dalam menyerap informasi melalui media yang berbeda.
Sekalipun demikian, jargon membaca dalam arti yang sempit masih mendominasi pemikiran orang awam dalam menyikapi masalah komunikasi, utamanya dalam proses pendidikan. Membaca buku khususnya, telah lama berakar dalam kepala orang-orang sekolahan bahkan hingga kini. Menurut saya, jargon yang biasa menempel di dinding-dinding perpustakaan itu, dalam kondisi tertentu, tidak lagi merupakan sebuah usaha pencerahan akan ilmu pengetahuan. Namun, justru lebih mirip proses indoktrinasi searah yang malah menutup pintu kreatifitas.
Kondisi-kondisi tertentu yang saya maksudkan adalah ketika seseorang tidak mengetahui makna membaca sesungguhnya. Membaca secara sederhana dideskripsikan proses merekonstruksi makna yang dituliskan oleh sang penulis atau pemilik ideologi melalui media simbol-simbol verbal. Atau secara umum, membaca merupakan proses merekonstruksi stimulus ke dalam realitas di kepala kita. Sehingga, seharusnya, tidak ada makna positif atau negatif dalam aktifitas membaca.
Namun, budaya kita telah merekonstruksi aktifitas membaca sebagai proses yang tidak hanya positif, bahkan mulia. Membaca kemudian identik dengan 'belajar', atau menjadi indikasi orang yang 'rajin' dan 'pintar' atau 'berpendidikan'. Ah, benarkah demikian?
Buku_dewasa ini_jelas bukan lagi jendela dunia. Buku tidak lebih dari sekedar kristalisasi ideologi-ideologi dari sang penulis buku, editor, dan penerbit. Tanpa memiliki dasar ini, masyarakat kita yang tengah yakin terhadap makna positif buku, menganggap semua teks yang ada di dalamnya adalah sumber fakta dan realitas tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan. Padahal, pertanggung jawaban atas tulisan di tengah tren plagiarisme kini semakin jengah dipertanyakan semua kalangan. Terlebih di negara demokrasi yang kebebasan berpendapatnya semakin tak keruan ini, buku telah berubah menjadi tidak lebih dari sekedar komoditas dagang. Salah-salah, buku yang kini kita baca tak lagi mencerahkan, justru menyesatkan. (yes)
0 comments
Mari bertukar pikiran...