Maduranese White Dragon

Bagi sebagian orang, gaya narasi dalam media yang bercorak jurnalisme cenderung berpatokan pada standar yang disepakati, karena memang media...

Bagi sebagian orang, gaya narasi dalam media yang bercorak jurnalisme cenderung berpatokan pada standar yang disepakati, karena memang media bukan merupakan milik individu. Namun saya berpendapat, narasi dalam film bercorak argumen sesungguhnya tidak memiliki batas yang signifikan, sampai-sampai puisi pun bisa dikatakan produk jurnalisme dalam beberapa sudut pandang. Bukan karena kontennya, namun hanyalah bentuk narasinya yang menjadi masalah, dan tidak banyak orang menyadari hal ini. Fakta, adalah sebuah konten yang dapat disampaikan dengan cara apapun yang pada akhirnya menjadi informasi yang didekonstruksi ketika mengenai kesadaran individu yang lain. Fakta tidak harus kalimat, bahkan cukup satu kata atau satu karakter jika memang seperti itu indera kita melihatnya. Sehingga, saya pun setuju bahwa tidak pernah ada yang salah dengan cara penyampaian sebuah pesan, apapun pesan itu, namun akan lain permasalahnnya ketika kita ditanya; kepada siapakah pesan itu akan disampaikan?

Shot ibarat amunisi kata-kata dalam sebuah film dalam menyampaikan pesannya sedangkan durasi bagaikan jumlah tinta dan kertas yang dimiliki, yang membatasi jumlah penggunaan kata-kata tersebut. Ketika kata-kata visual yang kita miliki terasa kurang cukup untuk menyampaikan pesan dengan cara yang biasa, cobalah mencari amuisi kata-kata yang lain atau dengan membuat sesuatu dengan amunisi yang tersedia... Lagipula, tidak ada nilai yang salah dengan sebuah film, layaknya Sutradara Quentin Tarantino yang mengibaratkan diri sebagai Dewa dalam "Destiny turn on the Radio" dan membunuh Hitler dalam "Inglorious Basterds"...



Judul "Maduranese White Dragon (Naga Putih Madura)" diambil dari nama Perguruan Pencak Silat Naga Putih Jokotole, dibuat pada kisaran November 2010 sampai Januari 2011, dengan waktu produksi 1 minggu di Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur, menggunakan kamera Panasonic AG DVX 102b. Produksi dilakukan sendiri, dengan bantuan beberapa saudara dan teman yang baru saya kenal; Mas Hasin dan bu Dinara, serta semua sahabat di bagian Humas dan Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura, segenap Pendekar Perguruan Naga Putih Jokotole Madura; Mas Pak Hidrochin, Mas Agus, Pak Suhaemi se Keluarga, Pak Hasan Sasra sekeluarga yang mewakili Seniman dan Budayawan, Pak Budi di Perpustakaan & Museum Daerah, Kakak saya Yuslich dan Istrinya Mitha yang memberi akomodasi dan transportasi gratis, dan semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan dalam tulisan ini; terimakasih atas segala bantuan dan keramah tamahan khas Madura yang telah memberi saya perspektif baru tentang nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat Madura. Namun, tak ada gading yang tak retak, keterbatasan sumber daya, waktu, didukung banyaknya halangan yang tak terduga dalam proses produksi mengakibatkan hasil film ini tidak sesuai dengan yang direncanakan. Sekalipun tidak lolos nominasi penguji, namun saya bangga dengan proses yang saya alami bersama semua pihak yang terlibat dalam proses produksi ini. Kalaupun tidak berhasil bermanfaat untuk kelulusan saya, paling tidak bermanfaat untuk proses pendewasaan saya.....

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...