Refleksi Diskusi; Nasib Film Indonesia

"Tanpa konsep nasionalisme, istilah Indonesia tidak akan muncul dalam pembicaraan ini." Tidak dapat disangkal, bahwa budaya si...

"Tanpa konsep nasionalisme, istilah Indonesia tidak akan muncul dalam pembicaraan ini."
Tidak dapat disangkal, bahwa budaya sinema Indonesia merupakan hasil difusi (jika tidak mau dikatakan impor) kebudayaan barat yang kini tengah berakulturasi dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat kita. Sayangnya, mengutip pernyataan Garin Nugroho pada diskusi film pada 29/01/2011 di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, bahwa kini sinema Indonesia tengah mengalami “kematian” nya kembali. Ramalan akan pendeknya siklus kehidupan film Indonesia memang telah terbukti dalam beberapa waktu terakhir, dan beberapa tanda-tanda “kiamat” rutin ini pun tengah marak bermunculan.

Kali pertama mendengar istilah sinema Indonesia, segera muncul gambaran mengenai film-film humor, seks, horor yang berkali-kali dilihatpun, selalu nampak tak bermutu. Selain itu, ruang lingkup dunia sinema Indonesia selalu merujuk pada wilayah DKI Jakarta yang notabene dianggap oleh mayoritas orang sebagai pusat diproduksinya film-film kelas nasional. Reaksi semacam ini wajar saja bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, karena tak dapat dipungkiri, kenyataanya memang demikian sekalipun film-film alternatif mulai menunjukkan eksistensinya di daerah-daerah.

Sebenarnya, ketika berbicara sinema Indonesia maka kita tidak dapat melepaskan diri dari konteks ke-Indonesiaan. Karena, tidaklah pas jika sekedar memadukan konsep sinema yang diciptakan dalam kondisi situasi barat kedalam konteks ke Indonesiaan yang notabene, sangat berbeda kondisinya tanpa adanya pemikiran yang mendalam mengenai kedua konsepsi tersebut. Jadi, apakah yang dimaksud konteks ke Indonesiaan dalam perfileman Indonesia?

Dewasa ini, makin banyak tafsir mengenai istilah Indonesia ini yang kini justru mengaburkan batasan-batasanya oleh fenomena banjir informasi pasca globalisasi. Sekalipun demikian, dasar pembentuk konsepsi Indonesia selalu bersandar pada pemahaman mengenai konsep nasionalisme. Yakni, memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan integral wilayah negara (nation state) dan sebagai negara bangsa yang berdaulat. Tentunya, ada pula kesadaran bahwa kita merupakan bagian dari masyarakat Indonesia tersebut. Tanpa konsep nasionalisme, istilah Indonesia tidak akan muncul dalam pembicaraan ini.





Kemudian, ketika menambahkan unsur budaya sinema kedalam konteks ke-Indonesia-an, akan muncul sebuah tata ideal mengenai perumusan Film indonesia yang seharusnya memang sudah oleh beberapa pihak dibuat dan diterjemahkan dalam konteks Indonesia. Dari mulai konteks kekuasaan hingga pada era reformasi yang mengedepankan demokrasi. Seperti beberapa usaha yang dilakukan Masyarakat Film Indonesia (MFI) dalam Sidang Uji UU Film No. 8/1992 tentang Sensor Film di Mahkamah Konstitusi (13/02/2008). Secara formal, telah tercipta berbagai tatanan ideal tersebut. Lihat saja, konsepsi dunia perfileman nasional. Sedangkan pada wilayah praktis hingga informal, tatanan tersebut didukung oleh kemunculan insan dan pegiat-pegiat film, sineas, kritikus, penikmat, lembaga-lembaga film dan festival-festival baik dari mainstream maupun alternatif yang mendapatkan dukungan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Namun, kenapa tata ideal tersebut hingga kini belum berjalan sebagaimana mestinya?

Sejarah media tontonan di wilayah Indonesia memang selalu memiliki kecenderungan hanya berperan sebagai media saja. Wayang, misalnya. Diluar fungsi menghibur, media ini mencoba menyebarkan simbol-simbol dan nilai-nilai kebudayaan agar dapat dipelajari dan kemudian dilanggengkan oleh masyarakat penontonnya. Semacam media dakwah. Wayang diciptakan sebagai pelanggeng konvensi-konvensi sosial yang ada di masyarakat dimana ia dilahirkan. Sejalan dengan sinema yang kali pertama tercipta dengan situasi kondisi masyarakat barat, membuatnya kemudian menjadi sebuah bentuk ekspresi budaya yang menyatu dengan berbagai unsur-unsur kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang melingkupinya. Katakanlah, bagaimana ketika film menjadi sebuah industri seperti di Holiwood. Di sini, bukan semata film sebagai produk sinema yang berbicara, tapi juga berbagai struktur pendukungnya seperti sistem ekonomi pasar, sistem distribusi, hak cipta, undang-undang, pendidikan, apresiasi dan sebagainya membuat eksistensi karya-karya hasil budaya sinema tersebut menjadi langgeng dan lestari.

Ketika produk dan konsep ini dikawinkan di Indonesia dengan nama Sinema Indonesia, pastinya akan terjadi beberapa ketidak sinkronan (sehingga pasti dibutuhkan usaha-usaha pen-sinkronanan). Budaya film membutuhkan pra kondisi yang tertentu untuk dapat bekerja sebagaimana mestinya. Seperti budaya intelektual, demokrasi, keterbukaan, ekonomi pasar(industri perfileman), kedaulatan hukum (hak cipta), dan sebagainya, terlepas dari kebutuhan yang sifatnya teknis. Hal itu tentu tidak bisa kita temui di Indonesia (paling tidak untuk saat ini). Sehingga, kejatuhan film indonesia sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak-pun terjadi. Sedikit sinis, dilihat secara lebih mendasar, nasib buruk serupa juga telah terjadi di banyak budaya akulturasi lain dalam masyarakat kita, tentunya ketika dibenturkan dengan asumsi ke-Indonesia-an juga. Lihat saja Sistem demokrasi, tata negara, teknologi media seperti Internet, Telepon seluler, bahkan lebih mendasar, Pendidikan Formal, dan masih banyak lagi.

"Menurut penelitian Eka (2010) dalam konteks Indonesia, perfileman di tanah air pernah mengalami 2 masa krisis, yakni periode 1957-1968 dan 1992 sampai 2000."

Hal ini jelas membuat budaya sinema, yang tidak bisa hidup tanpa dukungan struktur-struktur yang membentuknya tersebut, semakin kehilangan daya hidupnya. Sebenarnya, kekacauan seperti ini sudah terjadi jauh sebelum budaya sinema berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi situasi masyarakat Indonesia pasca reformasi. Namun, tetap saja, usaha formalisasi sinema era Orde Baru juga mengalami kegagalan bukan pada tingkat konseptual, melainkan pada tataran prakts.

Menurut penelitian Eka (2010) dalam konteks Indonesia, perfileman di tanah air pernah mengalami 2 masa krisis, yakni periode 1957-1968 dan 1992 sampai 2000. Berdasarkan penelitian dengan melakukan penelusuran dokumen dan wawancara mendalam dengan banyak pihak terkait hingga akhirnya dianialisis dengan model analisis interaktif Milies dan Huberman, ditemukan hasil bahwa pada periode pertama (1957-1968) krisis perfileman tanah air mengalami kemunduran akibat konstelasi politik. Film-film impor yang niatnya digunakan sebagai media pengembang justru menjadi algojo yang membunuh film-film nasional. Kemudian pada periode kedua (1992-2000) kemunduran sinema Indonesia dipengaruhi oleh 4 hal: pertama, pesatnya perkembangan teknologi atau industri audio visual home entertainment (kaset video, laser disc, video compact disc, digital video disc) sebagai media tontonan alternatif, kedua, Membanjirnya film Impor, ketiga, Perkembangan stasiun televisi swasta, keempat, Mutu film yang relatif rendah, dan kelima, perubahan tuntutan pasar.

Karena terlalu banyak yang dibahas dalam Tesis tersebut, jadi mungkin akan penulis bahas pada tulisan-tulisan selanjutnya. Sementara, dalam artikel ini, disimpulkan bahwa melihat potensi pembangunan pada milenium ke tiga, disebutkan pula oleh beberapa pengamat film utamanya pasca reformasi, sektor perfileman Indonesia dianggap tengah mengalami kebangkitan. Namun, tidak sedikit pula yang meragukan hal itu, termasuk mas Garin dalam diskusi kemarin. Sembari berpikir realistis, merenungkan diskusi bersama beliau, saya berpendapat bahwa kecil sekali (jika tidak dikatakan tidak ada) kemungkinan bahwa akan muncul masa kebangkitan dunia perfileman minstream maupun film alternatif Indonesia yang dicita-citakan seperti halnya yang terjadi di negara-negara asalnya, selama kondisi situasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat tidak berubah secara_katakanlah_radikal. (yes)

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...