Diary
video production
Sinema dan Puisi
01.45.00
Ibarat cinta pada pandangan pertama, karya film Tree of Life besutan Terrence Mallick seakan menghipnotis dan memanipulasi logika melalui tuturan narasi dan visualisasi yang dalam memukau. Sampai-sampai, saya tidak bisa memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi pada saya ketika menonton film ini. Meski sesungguhnya, pendirian dan dasar logika berpikir saya tentang penciptaan alam semesta yang saya yakini memiliki perbedaan yang mendasar dengan sang pembuat film.
Film ini menuntun saya kembali ke titik dimana saya menjadi satu bagian kecil dari bilangan tak terhingga atas kisah-kisah manusia yang pernah, sedang dan yang akan hidup di dunia ini. Sebuah proses dialektika berpikir yang tak berujung, bercampur dalam petualangan atas pencarian kesempurnaan hidup yang tumbuh dalam berbagai proses penciptaan dalam sendi-sendi peradaban manusia. Sedari wahyu yang diturunkan para nabi, revolusi pemikiran dalam era renaisans Eropa, sampai menggali makna sangkan paraning dumadi dalam semesta berpikir kaum Jawa.
Selain itu, film ini kemudian membawa saya pada pengalaman menonton film-film sejenis yang bergenre sama, salah satu yang masih tertancap kuat dalam benak saya adalah Baraka & Samsara karya Ron Fricke. Ibarat permainan kata yang kuat dan penuh energi dalam penggalan puisi Chairil Anwar, bahasa visual yang ditampilkan seakan memberi ruang baru pada sudut-sudut pemikiran yang tidak pernah terjamah sebelumnya. Tidak menggurui, hanya mengajak mendalami dan menyelami realitas, berkaca kepada diri sendiri, berjalan beriringan dengan penrimaan atas reaksi-reaksi inderawi yang tertangkap detik demi detik dalam film ini.
Beberapa pakar memasukkan film in dalam sebuah genre yang disebut sebagai Poetry Film atau ada yang menyebutnya cinepoem. Jika menggunkaan lafal poetry film dalam menciptakan definisinya, genre ini tidak lebih daripada perpaduan antara puisi dan medium film. Namun sesungguhnya, penjelasannya akan lebih jauh dari itu. Apalagi mengingat kedua bidang seni, yakni puisi dan film, berada pada medium yang berbeda. Keindahan sastrawi dalam sebuah puisi tidak bisa digunakan sebagai parameter untuk menilai kekuatan audio dan visual yang dimiliki medium film.
Saya yakin, diantara kalian yang pernah menikmati keindahan sastra melalui puisi maupun geguritan sesungguhnya bisa merasakan ada sesuatu yang sama dan sifatnya mendasar antara kedua jenis bidang seni yang nampaknya berbeda ini. Sensasi yang bisa dinikmati tidak dalam bentuk yang umum dan populer, namun lebih terasa dalam dan intim. Ibarat keindahan kata-kata yang ditransformasikan melalui medium gambar dan suara. Sebuah gambaran penjelajahan atas alam kesadaran dan imajinasi sang pembuat film. Menabrak batasan-batasan nartif dan penggunaan rumusan baku pada umumnya. Seperti istilahnya, bahwa sesungguhnya tidak ada satu jenis kamus di dunia ini yang bisa menterjemahkan bahasa gambar.
Dikatakan bahwa genre ini sesungguhnya sudah dimulai sejak 1920 oleh beberapa literatur yang berasal dari aliran pre-surrealist asal Prancis yang juga biasa disebut para penggagas impresionisme dalam hal film; Germaine Dulac, henri Chomette, dan Luis Deluc. Dijelaskan panjang lebar bagaimana mereka mendefinisikan 'cinema pur' dan berbagai hal-ihwal hubungannya dengan konten dan musik, gaya bertutur dan sebagainya. Meski tidak se besar gerakan French New wave yang dimotori Godadar dkk, namun setidaknya 'cinema pur' memberikan sentuhan rasa yang baru pada ranah apresiasi sinema. Dalam tulisan ini saya tidak ingin menjelaskan lebih detail, karena saya tidak berkapasitas untuk itu. Namun yang jelas, genre ini termasuk sudah lama diperdebatkan dalam ruang-ruang diskusi tidak hanya pembuat film sendiri, namun juga ranah akademis.
Memang seringkali batas dalam pendefinisan batas-batas film melalui kacamata genre terkadang absurd dan tidak terlalu jelas. Kecuali memang maksud pembuatan film tersebut sudah diungkap oleh sang pembuat film. Itu pun, ketika karya film sudah dilepas, masih terdapat kemungkinan untuk diinterpretasikan seperti apapun oleh penontonnya, termasuk penggolongan genrenya. Dalam hal ini, genre eksperimental yang sering digunakan untuk mendefinisikan sinema yang tidak termasuk dalam kategori genre umum yang telah ada. Bahkan, poetry film, sering dimasukkan dalam kelompok eksperimental ini.
Poetry film ini bagi saya yang notabene, tidak bisa disebut sebagai penggemar film lebih-lebih disebut pengamat, bahkan saya termasuk orang yang tidak rajin menyelesaikan daftar tontonan yang saya buat sendiri, entah mengapa membuka mata saya tentang sesuatu yang selama ini tidak terlalu menyita perhatian khalayak ramai. Yakni apapun yang berada dalam diri manusia itu sendiri, sebuah petualangan tentang pencarian yang menyelam masuk ke dalam alam ingatan, mendefinisikan kembali pengalaman-pengalaman hidup untuk menemukan dari mana kita berasal dan ke arah mana sesungguhnya kita semua akan berakhir. Setiap adegan memberi ruang interpretasi yang tidak terbatas kepada penontonnya, seakan mereka sedang bergelut dengan diri mereka sendiri dalam menciptakan pemaknaan pada tiap-tiap moment dalam film. Atau, tanpa peduli harus berpikir apapun bisa saja sekedar menikmati, sekalipun tak jarang yang berakhir mengrenyitkan alis. Tidak ada yang salah dan benar, hanya pemaknaan yang relatif.
Jauh dari seorang yang menggemari karya sastra, menulis pendahuluan saja saya tidak bisa. Alih-alih piawai memainkan kata, menyampaikan pendapat saja ibarat menyelesaikan soal matematika buat saya. Namun, kecintaan saya akan film, salah satunya adalah genre ini membuat saya ingin menyumbangkan sesuatu, entah berharga atau tidak, puisi dan sinema seperti menjadi lapangan bermain baru yang mengasyikkan buat saya. tidak usah sepenuhnya mengerti, cukup saja bisa menikmati. Seperti mengobati kerinduan saya atas hilangnya ketidakpedulian. Menjadi penonton yang melihat sinema sebagai karya yang apa adanya. (yes)
0 comments
Mari bertukar pikiran...