Kreator yang Baik adalah Penikmat yang Baik

Pernah seorang anak magang tanya, " Mas, sampean pas ngambil gambar yang jadi pertimbangan apa aja tho? ". Mungkin akan sedikit be...

Pernah seorang anak magang tanya, "Mas, sampean pas ngambil gambar yang jadi pertimbangan apa aja tho?". Mungkin akan sedikit berbeda dengan bagaimana seorang fotografer kondang yang dengan detail dapat menjabarkan definisi gambar yang bagus, dalam videografi tidak akan cukup satu buah gambar yang bagus. Dengan kata lain, dibutuhkan banyak gambar bagus. Bahkan, rangkain gambar bagus saja tidaklah cukup, dibutuhkan kontinuitas, kualitas suara yang bagus, alur yang bagus, dan banyak hal lainnya. Sebagus apapun gambar dibuat apabila semua faktor diabaikan, bisa jadi bencana yang akan terjadi di hasil akhirnya, dan sungguh hal tersebut bukan pilihan yang menguntungkan. Kontinuitas, cerita, audio, dan semua aspek produksi video selalu dibangun melalui mekanisme imajinasi dan perkiraan. Seorang videografer terlatih akan secara reflek membayangkan potongan demi potongan gambar yang berkesinambungan dan membentuk sebuah sekuen yang sifatnya naratif.

Saya menyebutnya konsep sekuensial. Membangun karya audio visual, kita tidak boleh berpikiran "shot" tapi juga "sekuen". Kebanyakan videografer freelance, yang mengawali profesinya dari seorang fotografer seringkali gagal menciptakan gambar sekuensial ini. Sekalipun ada beberapa orang yang sudah memiliki bakat ini, namun pada dasarnya kemampuan ini dapat dilatih dan dikembangkan. Karena pada dasarnya, proses menciptakan imej sekuensial ini akan sangat dibutuhkan ketika menghadap bangku editing. Dimana seorang editor harus memilih urutan gambar dari gambar yang acak, kemudian mengamatinya satu demisatu transisi, sehingga dapat menilainsecara langsung, sekaligus belajar, bagaimanakah bentuk rangkaian gambar dapat dicerna mata dan pikiran manusia yang sesungguhnya jawabannya ada pada bagaimana kita mempergunakan mata dan otak kita sehari-hari sampai-sampai kita tidak menyadarinya.

Kesadaran untuk menyadari proses itu akan membuat semua teori sinematografi yang kelihatan serba rumit menjadi tidak lebih sulit dari sesuatu yang sesungguhnya sangat sederhana sekali. Imajinasi. Seperti yang saya alami, penyutradaraan membutuhkan kesadaran sekuensial ini. Asalkan kita bisa mengimajinasikannya, kita dapat menuangkannya dalam bentuk apapun, baik berupa teks, storyboard, verbal, maupun gambar bergerak.

Belum lagi ketika referensi film bertambah, pengetahuan teoretis, praktis dan latar belakang pendidikan semakin tinggi, zaman brubah, cara komunikasi dan inovasi teknologi berubah, khalayak menuntut ranah sinematografi ke arah yang tidak pernah kita sadari sebelumnya ada seperti ketika French New Wave atau gerakan Cinema Verite muncul tanpa tahu bahwa itu ternyata memiliki masa depan. Penguasaan atas dasar teknis dan teoretis setiap sinematografer akan bekembang dengan sendirinya ke arah yang tidak terbatas. Namun ketidakterbatasan harus bermula dari suatu titik. Ibarat Big Bang, pemahaman dasar menjadi fondasi yang kuat untuk menangkap dan mengapresiasi, mengadaptasi pengetahuan selanjutnya dengan tingkatan lebih tinggi.


Prinsip dasar komunikasi, awalnya tak mungkin seorang pembicara tidak berasal dari seorang pendengar. Seperti videografi, kreator yang baik adalah penikmat film yang baik. Seperti yabg saya alami, usai menaruh minat saya pada dunia videografi ketika menjadi penonton, saya lantas berangkat dari editor. Dulu memang karena keterbatasan sumber daya, kamera adalah hal yang sangat mewah untuk saya, jadi saya memanfaatkan apa yang saya miliki saat itu, komputer (itu pun masih pinjam). Di sini secara langsung saya mempelajari cara menilai gambar yang baik dan buruk, gambar yang 'nyambung' dan 'tidak nyambung'.

Referensi film yang saya tonton dulu menjadi dasar landasan saya membuat berbagai keputusan dalam ber sinematografi. Kini, saya tidak hanya dapat menyusun gambar- gambar tersebut menjadi rangkaian, tapi juga dapat memahami pikiran para videografer ketika menciptakan gambar tersebut, mengira-ngira kesulitan apa yang dialaminya. Bahkan, melalui gambar yang diambil, saya bisa merasakan dan menciptakan imej dan karakteristik tiap-tiap videografer. Saya kini melakukannya lebih dari sekedar editor, semakin banyak jenis gambar yang pernah saya lihat, semakin banyak variasi yang bisa saya dapatkan ketika pertama kali memulai belajar mengambil gambar setelahnya tanpa melupakan proses seleksi gambar yang telah biasa saya alami ketika berada dalam kursi editor. Saya menjadi kameramen yang cepat belajar.

Akhirnya, kembali kepada pertanyaan si anak magang, saya berpikir tidak terlalu lama untuk menjawabnya. Karena dalam produksi dokumentasi, pra produksi seringkali berlangsung sangat singkat dan secukupnya, sisanya adalah improvisasi dan kemampuan memproduksi yang efisien. Jadi, mengefisienkan waktu belajar, jika tujuan akhirnya adalah seorang sutradara, maka jawaban saya saat itu adalah; "jadilah penonton yang baik dulu dan mulailah dari pascaproduksi" (yes)

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...