Pendidikan Formal; Menyetarakan ataukah Memaksakan?

Nongkrong lagi di warung kesayangan, kali ini seorang sahabat lama datang dan menyapa. Sedikit bernostalgia dengan masa lalu, kamu kemudian ...

Nongkrong lagi di warung kesayangan, kali ini seorang sahabat lama datang dan menyapa. Sedikit bernostalgia dengan masa lalu, kamu kemudian bertukar cerita tentang kemasakinian dalam versi masing-masing. Sahabat saya yang notabene berprofesi sebagai pengajar di salah satu sekolah dasar di Kabupaten sebelah mulai menceritakan keluhan-keluhan terkait pengalaman mengajarnya. "Daripada merubah seorang menjadi lebih pintar, sejatinya tugas yang lebih berat dari seorang guru itu adalah menilai bagaimana cara anak belajar, kemudian menggolongkan tipe pembelajaran apa yang cocok untuk mereka", kira-kira seperti itulah kata sahabat saya itu. Saya mengamininya, sekalipun teman saya (yang menyadarinya) menyadari bahwa ia tak bisa berbuat terlalu banyak untuk memaksakan idealismenya itu di depan birokrasi dan sistem kurikulum yang membatasi pergerakannya kini.

Memang di satu sisi, pembangunan membutuhkan sumber daya yang memadai, khususnya sumber daya manusia, dan itu didapatkan melalui pendidikan. Setiap periode tertentu (sebut saja pergantian menteri pendidikan) sistem pendidikan didrubah disesuaikan dengan tuntutan pembangunan. Target-target dicanangkan, anak-anak didik dipersiapkan. Namun, sejauh yang saya ketahui, praktik pendidikan di Indonesia belum bisa memenuhi target tersebut. Saya menekankan kata "praktik" di sini karena memang fokus perhatian saya adalah pada tataran pelaksanaan di lapangan. Sebut saja Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan Sertifikasi Profesi guru yang beberapa waktu lalu mengemuka dan digembor-gemborkan bakal merubah wajah pendidikan nasional. Namun, yang terjadi justru begitu banyak kejadian janggal yang terjadi di lapangan. Mulai dari biaya pendidikan yang meroket hingga sertifikasi "kilat" demi mencari tambahan kesejahteraan, bukan peningkatan kualitas mengajar.

Tidak ingin berusaha "nggebyah uyah" kepada semua guru, karena saya kenal dan berpihak pada beberapa guru yang dari cara hidupnya masih memiliki dedikasi untuk ber idealisme, dan saya pribadi sungguh salut. Bahkan hidup saya sekarang, terinspirasi oleh mereka. Akan tetapi, praktik lapangan yang minim pengawasan seringkali menjadi celah yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan kecurangan tersebut, terlepas dari apapun alasan yang menyebabkannya. Lagi-lagi anak didiklah yang menjadi korbannya.

Negeri vs Swasta

Tak berapa lama setelah saya bertemu teman lama saya tersebut, di daerah saya muncul isu menarik. Sekolah dasar swasta tiba-tiba dibanjiri peminat. Banyak SD Negeri yang tiba-tiba kekurangan siswa. Pernah sesekali ngobrol dengan salah satu kakak sahabat saya yang bekerja sebagai guru di salah satu sekolah swasta rintisan pemimpin koboy, Dahlan Iskan, di daerah saya. Dia menceritakan bagaimana proses pendidikan di sekolah tersebut yang memiliki standar kompetensi tersendiri (memiliki standar pendidikan sekolah Islam di Singapura) dia menjelaskan bagaimana isu-isu yang dikemukakan oleh sahabat lama saya yang magkal di warung kopi bisa jadi akan terjawab di sekolah jenis ini.

Sekalipun secara praktis hal tersebut masih sulit dilakukan karena idealnya, ada faktor-faktor pendukung di luar sekolah seperti orang tua yabg juga harus mengisi proses pembelajaran anak (dan menurutnya tak banyak orangtua yang melakukan itu) sarana dan prasarana pendidikan, lembaga sensor, dan sebagainya masih memiliki kualitas yang jauh dari memadai.

Sedikitnya dapat saya simpulkan bahwa, setiap anak memiliki potensi masing-masing yang dapat dikembangkan dengan cara masing-masing juga. Tidak melulu melalui pendidikan formal. Namun yang terjadi di lapangan, terutama pada model pendidikan formal yang dirintis negara, dalam tataran praktis cenderung menyetarakan mereka. Mungkin sejak SD, anak-anak sudah diberi model seperti sistem SKS. Karena toh, setiap anak tumbuh denga cara dan tempo yang berbeda-beda. Tapi ini masih angan-angan yang masih nun jauh disana yang seketika hilang usai menyeruput kopi panas pagi hari. (Yes)

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...